
Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap berdasarkan data Bank Dunia ekonomi Indonesia akan bertambah sekitar 1% hingga 1,5% setiap tahunnya jika berhasil melakukan transisi energi.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Boby Wahyu Hernawan mengatakan pertumbuhan ini bisa berasal dari peningkatan investasi, diversifikasi industri, dan penciptaan lapangan kerja di sektor energi terbarukan.
“Kemudian investasi global dalam manufaktur energi bersih juga sedang berkembang pesat, didorong oleh kebijakan industri yang mendukung dan juga peningkatan permintaan pasar. Lonjakan investasi tidak hanya mendorong inovasi tetapi juga menciptakan lapangan kerja,” kata dia dalam agenda Kesiapan Dana Swasta Indonesia dalam Pembiayaan Iklim, di The Tribrata Hotel & Convention Center, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Sebagai bentuk upaya transisi energi menuju nol emisi karbon, Indonesia telah menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 610,12 triliun. Dana itu masuk dalam realisasi anggaran mitigasi perubahan iklim. Total anggaran itu merupakan realisasi sejak 2016 hingga 2023.
“Pemerintah Indonesia itu telah merealisasikan anggaran negara rata-rata Rp 76,3 triliun per tahun untuk aksi iklim yang setara dengan 3,2% dari APBN tiap tahunnya, dengan jumlah kumulatifnya sejak 2016 adalah Rp 610,12 triliun,” kata Boby.
Meski demikian kebutuhan anggaran untuk Indonesia mencapai nol emisi karbon cukup besar. Sementara berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia membutuhkan hingga US$ 1 triliun atau setara Rp 16.816 triliun (kurs Rp 16.816) hingga 2060 untuk mencapai nol emisi karbon.
Sedangkan menurut Just Energy Transition Partnership (JETP) sampai 2030 Indonesia membutuhkan US$ 97,1 miliar dan US$ 580,3 miliar sampai dengan 2050. Sementara The International Energy Agency memperkirakan investasi untuk transisi energi membutuhkan dana sebesar US$ 4-5 triliun setiap tahun hingga tahun 2030.
(ada/fdl)