
Jakarta –
Plh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Tri Winarno mengungkapkan Pemerintah Indonesia bakal mengatur terkait pengelolaan sumur minyak oleh masyarakat yang selama ini masih dianggap ilegal. Pengaturan ini diharapkan mampu meningkatkan produksi minyak di Indonesia serta memperbaiki aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Tri mengungkapkan saat ini praktik sumur minyak masyarakat saat ini terbagi menjadi beberapa kategori berdasarkan lokasinya di Wilayah Kerja (WK) Migas dan operasi kontraktor. Diantaranya, sumur masyarakat di luar Wilayah Kerja (WK) Migas, sumur masyarakat di dalam Wilayah Kerja (WK) Migas, sumur masyarakat di dalam Wilayah Kerja dan di dalam Wilayah Operasi Kontraktor, dan penyulingan ilegal di sekitar lokasi sumur masyarakat (illegal refinery).
Tri berdasarkan laporan yang diterima Kementerian ESDM, sebaran sumur minyak berada Sumatra Selatan, Aceh, Jambi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Untuk wilayah Sumatera Selatan saja, Tri mengatakan saat ini terdapat lebih dari 7.700 sumur minyak masyarakat, produksi minyak dikisaran 6.000 hingga 10.000 barrel oil per day (BOPD).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk wilayah Sumsel saja, jumlah sumur masyarakat itu lebih dari 7.700 sumur, dengan keterlibatan masyarakat lebih dari 230.000 jiwa, jadi pada akhirnya ada asumsi bahwa satu sumur itu sekitar 30 orang, kemudian dan pergerakan produksi antara 6.000 sampai dengan 10.000 barrel oil per day, ini tergantung hari dan situasi, tapi ini average antara 6.000-an sampai 10.000,” katanya dalam Rapar Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR RI, Senin (28/4/2025).
Namun, Tri menjelaskan praktik illegal drilling yang marak ini menimbulkan berbagai masalah serius, mulai dari aspek legalitas, keteknikan, lingkungan, hingga sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Terkait dengan aspek ekonomi, mencakup kehilangan potensi perlindungan negara, serta mengganggu iklim investasi dan lifting migas,” katanya.
Oleh karenanya, Tri menjelaskan saat ini pemerintah sedang berupaya mengatur praktik sumur di masyarakat dengan regulasi yang bakal mengatur tiga bentuk kerja sama. Pertama, kerja sama antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dan Mitra yaitu kerjasama operasi atau teknologi mencakup sumur idle well, production well, idle field, serta lapangan produksi.
Kedua, kerja sama sumur minyak BUMD atau kooperasi yang melibatkan masyarakat sekitar. Tri menjelaskan melalui skema ini, kegiatan produksi dari sumur masyarakat akan dipayungi secara hukum dan dibina agar sesuai dengan standar industri migas nasional.
BUMD atau koperasi akan menjadi mitra resmi yang bekerja sama secara langsung dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), sehingga produksi minyak dari sumur-sumur masyarakat tetap berjalan dalam koridor kontrak kerja sama migas yang sah sesuai Undang-Undang Migas.
“Kemudian yang ketiga adalah kerja sama pengusahaan sumur tua yang sudah berjalan sesuai dengan Permen ESDM Nomor 1 tahun 2008,” katanya.
Tri menambahkan, upaya penanganan sumur masyarakat ini dilaksanakan melalui KKS melakukan kerja sama produksi sumur minyak BUMD atau koperasi dengan ketentuan diperbolehkan produksi selama periode penanganan sementara yaitu selama 4 tahun.
“Dalam 4 tahun dilakukan upaya perbaikan pembinaan agar sesuai dengan Good Engineering Practices, dan jika dalam 4 tahun tidak ada perbaikan maka akan dilakukan penghentian atau penegakan hukum. Kemudian selama 4 tahun tersebut tidak boleh ada tambahan sumur baru,” katanya.
“Sehingga dari itu semua perlu kita lakukan inventarisasi sumur minyak masyarakat yang boleh dilakukan kerja sama produksi minyak BUMD atau kooperasi. Ini kita percepat mungkin dalam waktu 1-1,5 bulan ini mudah-mudahan bisa kita selesaikan terkait dengan inventarisasi ini,” tambahnya.
(rrd/rrd)