
Jakarta –
Produsen pesawat asal Amerika Serikat (AS) Boeing mengalami pukulan hebat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini diperparah dengan penolakan yang dilakukan China terhadap pesawat jetnya imbas dari perang dagang yang tengah memanas antara China dengan AS.
Dikutip dari CNN Business, Kamis (24/4/2025), salah satu masalah yang menimpa Boeing ialah tragedi kelalaian kontrol keselamatan dan kualitas yang telah menyebabkan kecelakaan fatal dan penghentian operasional jetnya dalam setahun terakhir.
Ditambah lagi dengan aksi mogok kerja yang menghentikan sebagian besar produksinya selama dua bulan akhir tahun lalu, hingga anjloknya permintaan pesawat selama pandemi COVID-19.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Perang tarif adalah hal terakhir yang dibutuhkan Boeing saat ini,” ujar analis kedirgantaraan di Bank of America, Ron Epstein.
Boeing telah mengalami banyak tekanan dalam 6 tahun terakhir. Apabila perang dagang yang tengah terjadi dengan China saat ini diikuti oleh negara-negara lain dengan kenaikan tarif balasan, maka harga jet buatan eksportir terbesar AS itu bisa naik hingga jutaan dolar.
ADVERTISEMENT
China Kembalikan Pesawat
Tanda masalah pertama terkait tarif dagang muncul ketika dua pesawat di fasilitas Boeing di China dikembalikan ke fasilitas perusahaan di Seattle alih-alih dikirim ke pelanggan China mereka. Pelanggan China menghadapi tarif 125% atas semua impor AS, yang merupakan balasan atas tarif AS sebesar 145% atas sebagian besar impor China.
CEO Boeing Kelly Ortberg mengatakan, telah mengkonfirmasi pengembalian dua pesawat dari China dalam komentarnya kepada investor pada hari Rabu. Ia juga mengatakan, pesawat ketiga akan dikembalikan imbas tarif tersebut.
Masalah pengembalian jet dari China dikhawatirkan hanya merupakan awal masalah perdagangan Boeing. China adalah pasar jet komersial terbesar dengan pertumbuhan tercepat.
Namun, ketegangan perdagangan antara Amerika dan China telah menyebabkan Boeing kehilangan pangsa pasar di China terhadap pesaingnya dari Eropa, Airbus. Tercatat pelanggan China memesan 122 pesawat Boeing pada tahun 2017 dan 2018.
Enam tahun sejak saat itu, jumlah tersebut merosot menjadi hanya 28 pesawat, sebagian besar untuk pesawat kargo atau dari perusahaan leasing China, yang dapat membelinya atas nama maskapai penerbangan di luar China. Boeing belum melaporkan satu pun pesanan untuk jet penumpang dari maskapai penerbangan China sejak 2019.
Menjual dan mengirim pesawat hanyalah sebagian dari masalah bagi Boeing. Produksi pesawat juga bisa menjadi masalah, karena bergantung pada suku cadang buatan luar negeri untuk sekitar 80% isi pesawatnya.
Sayap pada 787 Dreamliner yakni pesawat Boeing yang paling berharga dan mahal, berasal dari Jepang. Sumbat pintu yang terlepas di udara dari 737 Max pada Januari 2024 berasal dari pemasok di Malaysia.
Itu berarti suku cadang asing dan tarif yang harus dibayar meningkatkan biaya produksi pesawat yang sudah bernilai US$ 50 juta sampai US$ 100 juta. Boeing belum melaporkan laba setahun penuh sejak 2018 dan mengalami kerugian operasional gabungan sebesar US$ 51 miliar sejak saat itu.
Pada hari Rabu kemarin, Ortberg mengatakan kepada para investor, pihaknya yakin bahwa pemerintahan Trump akan membantu meredakan kekhawatiran mereka terhadap tarif. Diskusi Boeing dengan pemerintah telah menunjukkan Trump memahami pentingnya industri kedirgantaraan bagi ekonomi AS dan peran yang dimainkan Boeing sebagai eksportir utama AS.
(shc/kil)